Karat
dalam terma sains adalah selaput perang kemerahan yang terbentuk pada besi oleh
tindakan udara dan air. Kalau dibiarkan lama, besi akan dimakan karat
menyebabkan ia rosak dan punahlah sifat kebesiannya. Sebab itulah orang mengatakan
hina besi karena karatnya, hina manusia karena hartanya. Maka hina seorang
Muslim karena karat jahiliyah yang masih melekat padanya!
Soalannya: bagaimanakah generasi para sahabat bisa muncul sebagai generasi terbaik dan unik dalam sepanjang sejarah Islam dan kemanusiaan? Sedangkan sewaktu mereka baru mengenali Islam, unsur jahiliyah masih tebal dan pekat hitam menyelubungi masyarakat Quraisy. Apakah kaedah yang mereka pakai untuk menanggalkan karat-karat jahiliyah sehingga jasad dan ruh mereka bebas daripada belitan dan kongkongan rawasib jahili yang memenjarakan diri mereka – lantas menjadi peribadi Muslim yang taat dan patuh kepada Allah tanpa sebarang rasa ragu dan syak. Selepas itu tidak pernah lagi terulang munculnya sebuah generasi yang hebat memiliki karekteristik dan keunikan yang serupa. Justeru apakah penyebab dan rahasia keberhasilan mereka?
Jika diamati dan dikaji, para sahabat Rasulullah SAW mengambil al Quran sebagai asas pedoman dan perjuangan dalam kehidupan mereka. Al Quran itulah yang sedang berada di tangan kita sekarang. Demikian pula hadith Nabawi, mereka menjadikannya sebagai manual kerja yang mengoperasikan seluruh aspek kehidupan Islami. Kedua-dua al Quran dan hadith masih ada dan tersimpan rapi tanpa adulterasi. Ia mudah dicapai dan difahami melalui teks secara asli ataupun maya. Dan bahan-bahan inilah yang akan dibaca oleh generasi sesudah kita sehinggalah ke akhir waktu. Yang tidak bersama kita hanyalah jasad Rasulullah SAW – apakah ini sebab dan puncanya kenapa kita generasi sekarang tidak Rabbani, tidak Qurani dan tidak cemerlang seperti generasi awal? Sudah tentu jawabannya tidak. Seandainya keberadaan Rasulullah SAW menjadi rahasianya, nescaya Allah tidak akan menjadikan dakwah Islam sebagai kaffatan linnas wa rahmatan lil ‘alamin.
Asy Syahid Syed Qutb dalam analisisnya lewat buku Ma’alim fi al- Tariq, mencermati profil masyarakat para sahabat lalu mengupas pengamatannya terhadap persoalan di atas dengan mengemukakan 3 faktor utama yang menjadi ciri khas generasi al Quran yang pertama itu seperti berikut :-
Pertama : al Quran sebagai sumber utama
Persepsi
generasi sahabat terhadap al Quran adalah sebagai satu-satunya sumber dan
landasan kehidupan. Dan hadith merupakan tafsir operasional daripada sumber
utama itu. Sebab itulah apabila Sayidatina ‘Aisyah r.a. ditanya tentang
akhlaq@peribadi Rasulullah SAW, beliau menjelaskan bahawa,”Budipekerti
baginda adalah al Quran”. Justeru Rasulullah SAW adalah the walking al
Quran becoz he walked the talk. Ia melaksanakan seluruh isi al Quran
dalam totaliti kehidupannya tanpa sebarang ilat. Ketika sahabat mulai giat
menegakkan Islam, peradaban besar semasa itu adalah Romawi, Cina, India dan
Parsi. Sudah tentu ada hambatan budaya yang ketara pada waktu itu terhadap
generasi sahabat. Namun Rasulullah SAW berjaya mencetak generasi yang spesifik
– di mana hati, aqal, wawasan, ideologi dan orientasinya kebal dan terpelihara
daripada tembusan pengaruh luar yang asing daripada manhaj al Quran. Mereka
tidak terbaur dengan sistem jahiliyah yang kotor penuh cemaran dalam memahami
sumber utama. Tradisi dan budaya asing daripada peradaban besar pada waktu itu
berjaya ditambat terkekang dan tidak dibenarkan melacuri penafsiran ayat-ayat
al Quran sehingga mengkabuti pemikiran generasi berikut dalam memahami mesej
asli al Quran.
Kedua : Metode penerimaan al Quran
Generasi
awal semasa membaca al Quran tidak bermaksud untuk menyelongkar rahasia alam
atau explorasi sains atau bagi tujuan memperkaya bahan ilmiah dan latihan
intelektual. Akan tetapi mereka menerima al Quran tamsil menerima perintah
daripada Allah untuk diterapkan secara langsung dalam kehidupan peribadi dan
masyarakat. Respons mereka terhadap arahan Allah adalah spontan – bukan menggeliat
mencari alasan untuk bertangguhan. Justeru kaedah penerimaan yang aplikatif
itu, mereka mampu mempraktikkan kerja, meringankan beban tugas yang dipikul
dalam melaksanakan urusan duniawi yang nyata dengan penuh dinamisme. Ternyata mereka mempersepsi al Quran bukan
sebagai bahan bacaan biasa yang diambil
daripada pustaka untuk dibaca sebagai penglipur lara atau sayembara. Al Quran
bagi mereka adalah sistem hidup atau minhajul hayah. Jadi penurunan al Quran
secara bertahap itu telah merongkai keserabutan nilai hidup masyarakat
jahiliyah, membuka jendela baru ke arah ufuk kehidupan yang indah penuh
kemanusiaan. Tarbiyah yang diperolehi terus daripada Allah melalui al Quran
dengan bantuan hadith Nabawi telah memperbaiki mind set dan paradigme hidup.
Setiap kesalahan ditegur dan diperbetulkan sesuai fitrah jiwa manusia. Dengan
demikian mereka amat terasa keterikatan jiwa dengan Allah sebagai Pencipta –
satu perasaan keintiman perhubungan al Khaliq dengan makhluq.
Ketiga : Peminggiran daripada persepsi lama@tradisi
Pengikraran
syahadah oleh seseorang sebagai Muslim berarti ia telah meninggal dan
menghapuskan segala tradisi dan karat jahiliyahnya. Ia memulai hidup baru yang
terputus dan terkerat jalur masa lampaunya yang jahiliyah secara mutlak. Ia
melihat jahiliyah sebagai noda dan dosa, benci melihat kemungkaran, terasa amat
kotor dan cemar yang hanya bisa terhapus dengan menerima Islam secara syamil
dan kamil. Inilah yang digelar anjakan saujana paradigme. Atas sikap inilah mereka menyerah diri kepada
Islam, kepada Allah dan Rasul tanpa syarat. Maka tazkiyah jasadiyah dan ruhiyah
pun berlakulah tanpa rasa asing, pelik dan terbeban. Isolasi perasaan yang
mutlak ini menjadikan diri para sahabat generasi awal al Quran berupaya untuk
wujud bersama [co-exist] dengan masyarakat jahiliyah dalam konteks hubungan
dagang dan kehidupan harian, namun mereka tidak menyatukan jasad, perasaan,
kecenderungan, pemikiran serta apa saja dengan nilai jahiliyah yang telah
dikapan dan dikebumikan. Perubahan total ini semuanya berpunca daripada tawhid
yang jelas yang berupaya menanggalkan berhala yang berada dalam diri dan di
luar diri.
Ketiga-tiga ciri yang tertera di atas inilah yang tidak dimiliki oleh generasi berikutnya. Untuk mengembalikan kehebatan sebagai ummah terbaik, kita perlu mengembalikan semangat berQuran. Relong hati kita mesti dibuka seluas mungkin untuk membiarkan seluruh intipati Quran bersemayam dan membentuk jiwa yang salimah. Pemberdayaan ruhiyah ini perlu berlaku secara intensif dan pantas agar al Quran bisa berinteraksi lebih kuat dan mendalam dalam diri kita. Dengan demikian barulah kita dapat menanggalkan dan meninggalkan segala karat jahiliyah : kebodohan, kejelekan dan akhlaq orang-orang musyrik tradisi dan moden. Karat yang berharga hanyalah karat timbangan emas, selain daripada itu tiada nilai. Bagaimana pula dengan karat jahiliyah? Bukan sekadar tiada nilai di sisi Allah, malah ia menyebabkan laluan ke syurga menghadapi kesukaran yang amat. Ada peluang untuk mendapat kemurkaanNya dan siksaan yang pedih lagi azab yang tak kunjung sudah.
Wallahu’alam,
4
Disember 2010